Misteri kasus besar di Indonesia
- orang hilang atau terbunuh di luar negeri sering menjadi misteri yang
tidak terpecahkan. Diantara mereka sempat menjadi pembicaraan publik
seantero jagat. Bagaimana dengan Indonesia? apakah memiliki kasus orang
hilang atau terbunuh yang tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan
sampai saat ini? Berikut kasus besar di Indonesia yang tetap menjadi misteri hingga hari ini.
1. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
Edy Tansil adalah seorang pengusaha
keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang
menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara
Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara
senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy
Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20
petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy
Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti
raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama
Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan bisnis sebuah
perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama
Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China.
Di
tahun 2007 Tempo interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK)
berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil
dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan
transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini
keberadaan Edy Tansil tetap masih menjadi misteri.
Ada
beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga kini
keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin
Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S
Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih
banyak lainnya.
2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi
Menjelang Reformasi di tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis
yang diculik paksa oleh militer dan hingga kini keberadaan mereka masih
menjadi misteri, jika mereka sudah meninggal dimanakah mereka
dikuburkan dan alasan apa yang menyebabkan sehingga militer menculik
ke-13 orang aktivis ini. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman
Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar
Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin
Muhidin dan Abdun Nasser.
Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap bertanggung jawab atas
peristiwa menghilangnya ke-13 aktivis tersebut dimana ada 24 orang yang
diculik namun 9 orang berhasil bebas yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief,
Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria,
Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati.
Sementara 1 orang lagi yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat
dinyatakan hilang lalu 3 hari kemudian ditemukan telah meninggal dunia
di Magetan dengan luka tembak dikepalanya. Karena kasus ini sempat
membuat heboh di tahun 1998 dan atas desakan berbagai pihak didalam
maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima ABRI saat itu,
Jend Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai oleh Jend
TNI Soebagyo HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD, dan wakil ketua
terdiri dari Let Jen TNI Fahrur Razi (Kasum ABRI), Let Jen Yusuf
Kartanegara (Irjen Dephankam) dan anggota yang terdiri dari : Let Jen
Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI (Kassospol
ABRI), Let Jen Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen Djamiri
Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI).
Pada tanggal 24 Agustus 1998 Letnan Jendral Prabowo Subianto selaku
Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari
dinas kemiliteran. Menindaklanjuti keputusan dari Menteri
Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto, dilakukan penyelidikan oleh
PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa tim mawar dari Kopassus
diduga bertanggung jawab terhadap kasus penculikan dan penghilangan
secara paksa para aktivis 1998 tersebut.
11 anggota Kopassus diadili secara militer namun KONTRAS dalam siaran
pers nya menyebutkan :"Proses peradilan terhadap 11 anggota Kopassus
terdakwa penculikan itu tidak lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk
memutus pertanggung jawaban Letnan Jendral Prabowo Subianto yang
sebenarnya paling bertanggung jawab atas operasi ini. Hal tersebut jelas
bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan DKP yang membuktikan bahwa
Letjen Prabowo lah yang bertanggung jawab atas penculikan itu, karena
itulah akhirnya ia dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami
berkesimpulan bahwa persidangan itu tidak lebih dari sebuah pertunjukan
dagelan yang tidak lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga korban
tetap menuntut Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel
Chairawan segera diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab atas kasus penculikan ini”
Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II
Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999.
Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;
No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman
1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S
Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan /
dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten
(Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra
Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan /
dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat, 9 Sersan
Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12
bulan / dipecat, 11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat
Namun proses pengadilan tersebut tetap saja tidak memberikan kepastian
dimanakah mereka menahan para aktivis tersebut dan jika sudah meninggal
dimanakah mereka menguburkan atau membuang mayat ke-13 aktivis yang
hilang tersebut.
3. Penembak Misterius Petrus 1982-1985.
Petrus
atau juga dikenal sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang
sebagai sebuah operasi rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk
menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap
meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu.
Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas
siapa pelakunya. Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi
dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada
Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar
kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama
Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk
mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka
kriminalitas.
Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara
kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi
aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak
disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi
bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta
yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat
yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk
melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit
di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban
Operasi Celurit pun mulai berjatuhan.
Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka
seperti sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di
kota-kota besar, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang
dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367
orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus
(Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang
yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban
Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di antaranya tewas karena
tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi
tangan dan leher terikat.
Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun. Yang
pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya
karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan
lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik
oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita
yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan
penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.
Ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan
massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani
sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu
memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi
mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. “Seiauh ini belum
pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap”
komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani
melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan
garang itu.
Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang
bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat
yang mati secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan
Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus
penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus
diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum.
“Jangan mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu
diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai
negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan,
“Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini
pada kehancuran.”
Tindakan tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang
menyulut pro dan kontra. Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan
kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang
kontra menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas
teri atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran.
Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan
oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara
kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984.
Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara
mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa
sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia
juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu
Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu
terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat
terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot
sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia kembali
menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng.
“Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan
petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan
kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu
akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini
tetap misterius dan tidak terungkap.
Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian
tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan Tindakan
keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang
terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas.
Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto
berujar : “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy,
tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor!
Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus
ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.
Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock
therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan
itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui
batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang
menjijikkan itu”
Namun jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan
bahwa penembakan terhadap para preman karena melawan saat hendak
ditangkap bagaimana Moerdani menjelaskan para korban Penembakan
Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau yang
dihanyutkan di sungai? atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius
itu menjalankan perintah?
4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje
Diera tahun 1980an ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama
Dietje yang bernama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia
tewas dibunuh dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli
dalam menembak kemudian mayat nya dibuang disebuah kebun karet
dibilangan kalibata yang sekarang menjadi komplek perumahan DPR. Setelah
kasus tersebut marak di media massa, Polisi akhirnya menangkap seorang
tua renta yang nama aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal dengan
panggilan Pakde dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia
adalah seorang dukun. Yang entah dengan alasan dan motif apa yang tidak
jelas ia dianggap sebagai pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu
penting karena Polisi mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki
bukti yang kuat".
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP
yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak
tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang.
Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan
terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang
meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan.
Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis
hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat
itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan
menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja
kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena
pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari
polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk
‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde.
Dietje disebutkan dipakai sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi
militer yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje
dipakai oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang
paling berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’
pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara
modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika
perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi
pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu
pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala
mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di
daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru
spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai
pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara
bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari
Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup
menjadi 20 tahun di tahun 1999.
Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan hotel prodeo setelah
pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara
bebas, Pak De lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama
layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang
kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam
kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda
Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De.
Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu
dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak
berlaku bagi rakyat kecil
5. Kasus Pembunuhan Udin
Udin adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas
terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad
Muhammad Syafrudin pada selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang
tamu misterius yang kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16
Agustus 1996 Udin harus mengembuskan nafas terakhirnya.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.
Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy
Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel
darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih
penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi gelap akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam
pengungkapan kasus kematian sang wartawan dan juga terdapat beberapa
orang yang dikambing hitamkan atas peristiwa kematian Udin. Seorang
wanita bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah
uang untuk membuat pengakuan bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan
gelap dan suaminya lah yang telah membunuh Udin.
Lalu Dwi Sumaji alias Iwik seorang supir dari Dymas Advertising Sleman
diculik di perempatan Beran Sleman lalu dibawa ke Hotel Queen of the
South Parangtritis dan dipaksa oleh Serka Edy Wuryanto yang memiliki
nama panggilan Franky agar mengaku sebagai pembunuh Udin, sebelumnya di
sebuah losmen bernama Losmen Agung yang juga berada di parangtritis Iwik
dicekoki berbotol-botol minuman keras hingga mabuk dan disuguhi wanita
penghibur dan diberi janji uang, pekerjaan yang layak serta jaminan
hidup buat keluarganya dimana sebelumnya ia dijebak oleh Edy Wuryanto
dengan dalih pembicaraan bisnis Billboard. Di pengadilan Iwik mencabut
seluruh "pengakuan" dirinya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi
karena ia sebagai korban rekayasa dan berada dibawah ancaman tekanan
dan paksaan oleh Kanit Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto.
Komnas HAM mengadakan investigasi lapangan dan menyimpulkan telah
terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia namun tetap saja Iwik dijadikan
sebagai tersangka utama oleh Polisi dan diajukan ke persidangan, walau
penuh teror dari berbagai pihak akhirnya Iwik divonis bebas oleh majelis
hakim dan motif perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara
otomatis gugur selain itu majelis hakim memerintahkan agar polisi
mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang
sebenarnya. Dalam kesaksiannya di persidangan Iwik menyatakan bahwa
dirinya selain menjadi korban rekayasa dan bisnis politik, ia hanya
dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy
Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri
Roso Sudarmo. Namun hingga kini para pelaku kejahatan pembunuhan
terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tidak ada yang ditangkap
atau diadili ke meja hukum.
6. Kasus Marsinah
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja
pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia
ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi
dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa
Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang
melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan
dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran
Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya
disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha
berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April
1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat
Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan
untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp
1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap
menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk
kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh
rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada
tanggal 8 Mei 1993. Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim
Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda
Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur
resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya
perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS,
Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di
tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya
rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang
dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota
TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian
kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga
hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun
mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan
bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas
murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan
kasus ini adalah "direkayasa".
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal
sebagai kasus 1713. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.
7. Kasus Sum Kuning (1970)
Ini adalah kasus getir dan pahit dari
seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang gadis muda dari kelas bawah
seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang (maaf) diperkosa oleh
segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala
itu. Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum
terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas.
Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini kepada
polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai
dusta. Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan
dipaksa mengaku sebagai pelakunya.
Tanggal 18 September 1970
Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir
jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa
pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak
sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa
bergilir hingga tak sadarkan diri.
Kasus ini cukup pelik
karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para pelaku
pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya
adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di
tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
Dalam
bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan,
Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah
dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dalam
pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang
berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau
menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi
mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.Karena melibatkan
anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani.
Saat
itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota
PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.Kasus Sum disidangkan di
Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup
untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama
Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo
menolak mentah-mentah. Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu
tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan,
Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan
keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.Dalam putusan hakim
dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi
obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo,
sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa
polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari
setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta
AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu
memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari
siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning."Perlu
diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun.
Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap
kita tindak," tegas Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani
kasus ini. Namanya 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971.
Kasus
Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi
dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media
massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan
kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan
kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai
luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah
politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara.
Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib??
Dalam
kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa
Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede
alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras
melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar
memerkosa. Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat
kasus ini menjadi bias. Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan
sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan
untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah
Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria
yang sudah dikenalnya saat masih dirawat. Tapi siapakah pelaku
pemerkosaan sebenarnya dari Sum Kuning masih menjadi tanda tanya besar
sampai saat ini sebab baik Sum Kuning tetap pada pendiriannya bahwa
pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat maupun 10 pemuda anak orang
biasa yang diajukan ke pengadilan dan membantah habis-habisan tuduhan
yang diajukan kepada mereka dan dijadikan sebagai kambing hitam untuk
menutupi para pelaku sebenarnya.
8. Kasus Munir
Munir
sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan
dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa
menjelang memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus
seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus
menawarkan kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir
menempati kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati
kursi Munir dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, flight attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti
dibantu Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada
para penumpang dan Munir memilih Jus Jeruk. Pukul 22.05 WIB pesawat
lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Flight Attendant membagikan
makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir memilih mi goreng dan
kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah mengudara hampir 2
jam pesawat mendarat di bandara Changi Singapura. Di bandara Changi
Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak
pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan
perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda
dari perjalanan Jakarta menuju Singapura.
Dalam perjalanan Munir meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati
segelas teh hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang
dituangkan dari teko ke gelas diatas troli dilengkapi gula sachet. Tiga
jam setelah mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan
dengan Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi
seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga
menuju Belanda, Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju
Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat
lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat
muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar
dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil
batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak
obat yang dimiliki pesawat.
Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka,
Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk
kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber,
semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi
Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih
kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh pramugari
membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima
menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet. Tarmizi
menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak
5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam.
Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama,
sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir: mulutnya
mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru.
Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi
tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di
atas langit Negara Rumania. Setelah dilakukan penyelidikan termasuk oleh
pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir ditemukan
kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l
dalam darahnya. Namun terdapat keanehan setelah dilakukan otopsi oleh
pihak RS Dr Soetomo dimana kandungan arsenik yang ditemukan didalam
lambung Munir sedikit ganjil karena seharusnya kandungan arsenik
tersebut sudah hancur/melarut.
Ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh
Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi
ini juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama
organ tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu
dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar
benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak
lain. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara
lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut
keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik
masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban
mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang.
Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut namun hingga kini
tampaknya kasus tersebut belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang
telah dijatuhi vonis oleh pengadilan namun Suciwati selaku istri Munir
tetap merasa tidak puas dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas
kasus kematian suaminya. Apakah ini tindakan kontra intelijen ataupun
sebuah operasi pembunuhan oleh intelijen? tidak ada yang mengetahui
kejadian sebenarnya kecuali mungkin para pelaku utama pemberi perintah
untuk membunuh sang aktivis. Namun yang pasti didalam sebuah kasus
pembunuhan terencana harus ada motif dan tujuan dari melenyapkan
seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI begitu bodoh untuk membunuh
seseorang yang secara aktif mengkritisi berbagai persoalan HAM di
indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa pasti mata dan tuduhan
internasional pasti akan mengarah kepada pemerintah Indonesia, dan pihak
militer serta badan intelijennya, atau mungkin ada beberapa pihak yang
telah gelap mata akibat sikap kritis dari Munir yang membuat mereka
mengambil keputusan untuk menghabisinya, sebuah misteri yang belum
terungkap hingga kini.